Belajar adalah “key term” yang paling vital dalam setiap usaha
pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan.
Menurut (Slameto,2010) belajar didefinisikan sebagai suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya, selain itu (Mustaqim dan Abdul Wahib,2010) mendefinisikan bahwa
belajar itu adalah usaha untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi atau
situasi-situasi di sekitar kita,dalam menyesuaikan diri itu termasuk
mendapatkan kecekatan pengertian-pengertian yang baru ,atau sikap-sikap yang
baru.Jadi dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwasannya belajar
itu adalah suatu proses perubahan, perubahan-perubahan itu tidak hanya
perubahan lahir tetapi juga perubahan batin, tidak hanya perubahan
tingkah lakunya yang tampak, tetapi dapat juga perubahan-perubahan yang tidak
dapat diamati. Perubahan-perubahan itu bukan perubahan negatif, tetapi
perubahan yang positif, yaitu perubahan yang menuju ke arah kemajuan atau ke
arah perbaikan. Kata
“belajar” itu sendiri sebenarnya sudah lama muncul didalam persefektif
pendidikan, sejak dari manusia baru dilahirkan dimuka bumi hingga beranjak
dewasa dan tua kegiatan belajar masih saja terus dilakukan, misalnya saja dalam
perkembangan kecakapan berbicara. Secara yuridis nasional Indonesia
mengatur sistem pendidikan (yang termasuk belajar) didalam berbagai ketentuan
konstitusional. Baik dalam UUD 1945 maupun dalam berbagai produk peraturan
perundang-undangan lainya. Teori
belajar berpangkal pada pandangan hakikat manusia, yaitu hakikat manusia
menurut pandangan John Locke yaitu manusia merupakan organisme yang pasif.
Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa
kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan ini
muncul aliran belajar behavioristik-elementeristik. Sedangkan menurut
Leibnitz pandangan mengenai hakikat manusia adalah organism yang aktif. Manusia
merupakan sumber daripada semua kegiatan. Pada dasarnya manusia bebas untuk
berbuat, manusia bebas untuk membuat pilihan dalam setiap situasi. Titik pusat
kebebasan ini adalah kesadarannya sendiri. Dari pandangan ini muncul aliran belajar
yaitu belajar kognitif-holistik.
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang
dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan.
Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau
negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang
digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti
dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan. Dalam teori belajar ini, yang
terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau out
put yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respon
dianggap tidak penting diperhatikan, karena tidak dapat diamati dan diukur.
Yang hanya dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa saja
yang diberikan guru (stimulus), dan apa yang dihasilkan siswa (respon),
semuanya dapat diamati dan diukur.[1] Premis dasar teori belajar behavioristik
menyatakan bahwa interaksi antara stimulus respons dan penguatan terjadi dalam
suatu proses belajar. Teori belajar behavioristik sangat menekankan pada hasil
belajar, yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat. Hasil belajar
diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul terhadap stimulus yang
bervariasi.
Salah satu teori belajar
behavioristik connectionism dari Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan
proses coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus. Respons yang benar akan
semakin diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang
tidak benar akan menghilang. Dari teori ini Thorndike mengemukakan hukum
belajar yang disebut law of effect artinya jika sebuah respons menghasilkan
efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin
kuat.sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, semakin
lemah pula hubungan stimulus respons tersebut.[2]
Ciri dari teori belajar behavioristik adalah
mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan
peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan
pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan
kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan. Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif
berkenaan dengan teori behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan
pengolahan rendah untuk memahami materi dan material sering terisolasi dari
konteks dunia nyata atau situasi. Little tanggung jawab ditempatkan pada
pembelajar mengenai pendidikannya sendiri.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan
(transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.[3]
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang
menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada
buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali
isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada
hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara
terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara
“benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar
secara individual.
Langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan teori
behaviorisme dalam proses pembelajaran adalah:
1.
Mengidentifikasi tujuan pembelajaran;
2.
Melakukan analisis pembelajaran;
3.
Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajar;
4.
Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar;
5.
Mengembangkan bahan ajar (pokok bahasan, topik, dll);
6.
Mengembangkan strategi pembelajaran (kegiatan, metode, media dan
waktu);
7.
Mengamati stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan, tugas,
tes dan sejenisnya);
8.
Mengamati dan menganalisis respons pembelajar;
9.
Memberikan penguatan (reinfrocement) baik posistif maupun
negatif; serta
10.
Merevisi kegiatan pembelajaran.
Ada beberapa tokoh teori behavioristik. Tokoh-tokoh aliran
behavioristik tersebut antaranya adalah Thorndike dan Skinner.
Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis
serta peranannya dalam pembelajaran.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus
dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat
indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika
belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi
perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu
yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun
aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat
menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.
Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hokum
efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga
hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih
mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar
secara sederhana, namun lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara
stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang
kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima
seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan
saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon
yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku
(Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah
laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap
arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini
adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan
akan menghilang bila dikenai hukuman.
C. Teori Belajar Kognitivisme
Belajar seharusnya
menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan
salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya
mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar
merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar.
Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau
mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Menurut teori belajar
kognitif pada dasarnya setiap orang dalam bertingkah laku dan mengerjakan
segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat perkembangan dan
pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki kepercayaan,
ide-ide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya.
Teori kognitif berasal
dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek kognitif mempersoalkan bagaimana
seseorang memperoleh pemahaman mengenai dirinya dan lingkungannya dan bagaimana
ia berhubungan dengan lingkungan secara sadar. Sedangkan aspek psikologis
membahas masalah hubungan atau interaksi antara orang dan lingkungan
psikologisnya secara bersamaan. Psikologi kognitif menekankan pada penting
proses internal atau proses-proses mental. Menurut teori belajar kognitif,
belajar merupakan proses-proses internal yang tidak dapat diamati secara
langsung.
Menurut peaget (dalam
Hudoyono,1988:45) Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru,
dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif (mental). Untuk itu,
manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu
perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut.
Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang.
Diantara para pakar teori kognitif, paling
tidak ada tiga yang terkenal yaitu:
1.
J.Piaget
Menurutnya kegiatan belajar terjadi sesuai
dengan pola-pola perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta melalui proses
asimilasi, akomodasi dan equilibrasi. Tahap-tahap perkembangan itu adalah :
1.
Tahap Sensorimotor (umur
0-2 tahun)
2.
Tahap preoperasional (umur
2-7/8 tahun)
3.
Tahap operasional konkret
(umur 7/8-11/12 tahun)
4.
Tahap operasional formal
(umur 11/12-18 tahunn)
Menurutnya , proses belajar akan terjadi jika
melalui tahap-tahap asimilasi, akomodasi dan equilibrasi/penyeimbangan.
Asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informasi baruke
dalam struktur kogniitif yang telah dimiliki oleh seseorang. Akomodasi
merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru, sedangkan
equilibrasi merupakan penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi.
2.
Brunner
Dengan
teorinya free discovery learning mengatakan bahwa belajar
terjadi lebih ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan/informasi, dan
bukan ditentukan oleh umur. Menurut Brunner tahap perkembangan kognitif terjadi
melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu:
a. Tahap
Enaktif, seseorang melakukan aktifitas-aktivitas dalam upayanuntuk memahami
lingkungan sekitarnya, artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan
pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dsb.
b. Tahap
Ikonik, seseorang memahami objek-objek/dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal, maksudnya dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar
melalui bentuk perumpamaan(tampil) dan perbandingan (komparasi).
c. Tahap
Simbolik, seseorang telah mampuh memiliki ide-ide/gagasan-gagasan abstrak yang
sangat mempengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika
3.
Ausubel
Menurutnya bahwa proses belajar terjadi jika
seseorang mampuh mengasimilasikan pengetahuan yang yelah dimilikinya dengan
pengetahuan baru. Proses belajar melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus,
memahami makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah
dipahami.Salam kegiatan pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat
diperhatikan. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu
mengkaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki
siswa. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola/logika tertentu, dari
sederhana ke kompleks. Perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan,
karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.
D. Teori Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah integrasi prinsip yang diekplorasi melalui
teori chaos, network, dan teori kekompleksitas dan organisasi diri.
Belajar adalah proses yang terjadi dalam lingkungan samar-samar dari
peningkatan elemenelemen inti- tidak seluruhnya dikontrol oleh individu.
Belajar (didefinisikan sebagai pengetahuan yang dapat ditindak) dapat terletak
di luar dirikita (dalam organisasi atau suatu database), terfokus
pada hubungan serangkaian informasi yang khusus, dan hubungan tersebut
memungkinkan kita belajar lebih banyak dan lebih penting dari pada keadaan yang
kita tahu sekarang. Konstruktivisme
diarahkan oleh pemahaman bahwa keputusan didasarkan pada perubahan yang cepat.
Informasi baru diperoleh secara kontinu, yang penting adalah kemampuan untuk
menentukan antara informasi yang penting dan tidak penting. Yang juga penting
adalah kemampuan mengetahui kapan informasi berganti (baru). Prinsip-prinsip
konstruktivisme sebagaimana yang diungkapkan Siemens (2005) adalah:
1. Belajar dan pengetahuan terletak pada keberagaman opini.;
2. Belajar adalah suatu proses menghubungkan (connecting)sumber-sumber
informasi tertentu;
3. Belajar mungkin saja terletak bukan pada alat-alat manusia;
4. Kapasitas untuk mengetahui lebih banyak merupakan hal yang lebih
penting dari pada apa yang diketahui sekarang;
5. Memelihara dan menjaga hubungan-hubungan (connections)
diperlukan untuk memfasilitasi belajar berkelanjutan;
6. Kemampuan untuk melihat hubungan antara bidang-bidang, ide-ide,
dan konsep merupakan inti keterampilan;
7. Saat ini (pengetahuan yang akurat dan up-to-date)
adalah maksud dari semua aktivitas belajar konektivistik;
8. Penentu adalah proses belajar itu sendiri. Pemilihan atas apa yang
dipelajari dan makna dari informasi yang masuk nampak melalui realita yang ada.
Konstruktivisme
juga menyatakan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan aktivitas.
Pengetahuan yang dibutuhkan dihubungkan (to be connected) dengan orang
yang tepat dalam konteks yang tepat agar dapat diklasifikasikan sebagai
belajar. Behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme tidak menyatakan
tantangan-tantangan dari pengetahuan organisasional dan pergantian (transference).
Aliran informasi dalam suatu organisasi merupakan elemen penting dalam hal efektifitas secara organisasi. Aliran
informasi dianalogikan sama dengan pipa minyak dalam sebuah indusri.
Menciptakan, menjaga, dan memanfaatkan aliran informasi hendaknya menjadi kunci
aktivitas organisasional. Aliran pengetahuan dapat diumpamakan sebagai sebuah
sungai yang berliku-liku melalui ekologi suatu organisasi. Di daerah tertentu
meluap dan di tempat lain airnya surut. Sehatnya ekologi belajar dari suatu
organisasi tergantung pada efektifnya pemeliharan aliran informasi. Analisis
jaringan sosial merupakan unsur-unsur tambahan dalam memahami model-model
belajar di era digital. Art Kleiner (2002) menguraikan quantum theory
of trust milik Karen Stephenson yang menjelaskan tidak hanya sekadar
bagaimana mengenal kapabelitas kognitif kolektif dari suatu organisasi, tetapi
bagaimana mengolah dan meningkatkannya. Starting point konstruktivisme
adalah individu. Pengetahuan personal terdiri dari jaringan, yang hidup dalam
organisasi atau institusi, yang pada gilirannya memberi umpan balik pada
jaringan itu, dan kemudian terus menerus member pengalaman belajar kepada
individu. Gerak perkembangan pengetahuan (personal ke jaringan ke organisasi)
memungkinkan pebelajar tetap mutakhir dalam bidangnya melalui hubungan (connections) yang mereka
bentuk.
E. Teori Belajar Humanistik
Teori humanis pula
berpendapat pembelajaran manusia bergantung kepada emosi dan perasaannya.
Seorang ahli mazhab ini, Carl Rogers menyatakan bahawa setiap individu itu
mempunyai cara belajar yang berbeza dengan individu yang lain. Oleh itu,
strategi dan pendekatan dalam proses pengajaran dan pembelajaran hendaklah
dirancang dan disusun mengikut kehendak dan perkembangan emosi pelajar itu.
Beliau juga menjelaskan bahawa setiap individu mempunyai potensi dan keinginan
untuk mencapai kecemerlangan kendiri. Maka, guru hendaklah menjaga kendiri
pelajar dan member bimbingan supaya potensi mereka dapat diperkembangkan ke
tahap optimum. Menurut Teori
humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar
dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.
Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai
aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami
perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya.
Tujuan utama teori
humanistik adalah pendidik membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, untuk
mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam
mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai
fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan
belajar dan berbagai kualitas fasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat
singkat dari beberapa guidenes (petunjuk):
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana
awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas;
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas
tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang
bersifat umum;
3. Fasilitator mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa
untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan
pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi;
4. Fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk
belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu
mencapai tujuan mereka;
5. Fasilitator menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang
fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok;
6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan
menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan
mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun
bagi kelompok;
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator
berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut
berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya
sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain;
8. Fasilitator mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok,
perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak
memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan
atau ditolak oleh siswa;
9. Fasilitator harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang
menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
Di dalam berperan
sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan
menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
Budiningsih, Asri. Belajar
dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.1997.
Muhibbin Syah. Psikologi
Belajar. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 2001.
John Muli. Teori-Teori
Belajar dan Pembelajaran.http://johnmuli.blogspot.com/2012/06/teori-teori-belajar-dan-pembelajaran.html (diakses pada 26
April 2015 pukul 03:41)
Hasanudin, Teori
Belajar Behaviorisme, Kognitif, Konstruktivisme, dan Humanistik,http://hasanudin-bio.blogspot.com/2011/05/teori-belajar-behaviorisme-kognitif.html(diakses pada 26 April
2015 pukul 04:06)
Rudi. Makalah
Teori Belajar. http://rudichum.blogspot.com/2014/01/makalah-teori-belajar.html?m=1 (diakses pada 27
April 2015 Pukul 17:00)
Syukri Zulkifli. Makalah
Psikologi Pendidikan Teori Belajar.http://syukriadizulkifli.blogspot.com/2013/04/makalah-psikologi-pendidikan-teori.html?m=1 (diakses pada 27
April 2015 pukul 18:30)
[1] John Muli, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, http://johnmuli.blogspot.com/2012/06/teori-teori-belajar-dan-pembelajaran.html (diakses
pada 26 April 2015 pukul 03:41)
[3] Hasanudin, Teori Belajar Behaviorisme, Kognitif,
Konstruktivisme, dan Humanistik,http://hasanudin-bio.blogspot.com/2011/05/teori-belajar-behaviorisme-kognitif.html (diakses
pada 26 April 2015 pukul 04:06)