TEKNIK PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN TES HASIL BELAJAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
proses pembelajaran peran sekolah dan guru yang pokok adalah menyediakan dan
memberikan fasilitas untuk memudahkan dan melancarkan cara belajar siswa. Guru
harus dapat membangkit kegiatan-kegiatan yang membantu siswa meningkatkan hasil
belajarnya. Namun, di samping itu kadang-kadang guru merasa bahwa evaluasi itu
merupakan sesuatu yang bertentangan dengan pengajaran. Hal ini timbul karena
sering kali terlihat bahwa adanya kegiatan evluasi justru merisaukan dan
menurunkan gairah belajar pada siswa. Hingga anggapan dengan adanya kegiatan
evaluasi itu bertentangan dengan kegiatan pengajaran. Pendapat yang demikian
pada hakikatnya tidaklah benar. Evaluasi yang dilakukan dengan tidak benar
dapat mematikan semangat belajar siswa.
Sebaliknya dengan evaluasi yang dilakukan dengan baik dan
benar seharusnya dapat meningkatkan mutu dan hasil belajar siswa, karena
kegiatan evaluasi itu membantu guru untuk memperbaiki cara mengajar dan
membantu siswa dalam meningkatkan cara belajarnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa
evaluasi tidak dapat dipisahkan dengan pengajaran. Sehubungan dengan hal
tersebut di dalam proses pembelajaran perlu adanya teknik dalam menyusun dan
melaksanakan tes hasil belajar, yang akan paparkan secara sederhana dalam
tulisan ini dengan mengangkat judul “Teknik Penyusunan Tes Hasil Belajar dan
Pelaksanaannya”.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana
ciri-ciri tes hasil belajar yang baik?
2.
Bagaimana teknik penyusunan dan pelaksanaan tes hasil
belajar yang baik?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk memahami ciri-ciri tes hasil belajar yang baik.
2.
Untuk memahami serta mengimplementasikan teknik penyusunan
dan pelaksanaan tes belajar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ciri – ciri suatu tes hasil belajar yang baik
Tes hasil belajar merupakan salah satu jenis tes yang
digunakan untuk mengukur perkembangan atau kemajuan belajar peserta didik,
setelah mereka mengikuti proses pembelajaran. Di dalam teknik
penyusunan tes hasil belajar setidak tidaknya ada empat ciri atau karakteristik
yang harus dimiliki oleh tes hasil belajar, sehingga tes tersebut dapat
dinyatakan sebagai tes yang baik sebagaimana yang dikemukakan oleh Anas
Sudijono yaitu: “(1) valid (shahih = صحيح); (2) reliabel (tsabit = ثابت); (3)
obyektif (maudu’iy = موضوعى); (4) praktis (‘amaliy = عملى)”. [1]
Dari uraian keempat ciri atau karakteristik yang dijelaskan
Anas Sudijono dalam bukunya, dapat dipaparkan secara singkat bahwa :
1. Valid atau validitas yang
sering diartikan dengan ketetapan, kebenaran, keshahihan atau keabsahan. Maka
sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut dengan secara tepat, secara
benar, secara shahih atau secara absah dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.
2. Reliabel yang sering diterjemahkan dengan keajegan
(stability) atau kemantapan (consystence). Maka sebuah tes dapat dikatakan
reliabel apabila hasil-hasil pengukuran yang digunakan dengan menggunakan tes
tersebut secara berulangkali terhadap obyek yang sama, senantiasa menunjukkan
hasil yang tetap sama atau sifatnya ajeg dan stabil.
3. Obyektif yang dapat diartikan dengan “menurut apa adanya”.
Ditinjau dari isi atau materi tesnya,
tes diambilkan atau bersumber dari materi atau bahan pelajaran yang telah
diberikan sesuai atau sejalan dengan kompetensinya. Dan ditinjau dari segi
pemberian skor dan penentuan nilai hasil tesnya, maka pemberian skor dan
penentuan nilainya terhidar dari unsur-unsur subyektivitas.[2]
4. Praktis yang mengandung pengertian bahwa tes hasil belajar
tersebut dapat dilakukan dengan mudah, karena ada dua alasan:
a) Bersifat sederhana, tidak memerlukan peralatan yang banyak
atau peralajan yang sulit pengadaannya,
b) Lengkap, tes tersebut telah
dilengkapi dengan petunjuk mengenai bagaimana cara mengerjakannya, kunci
jawabannya dan pedoman scoring serta penentuan nilainya.
a. Prinsip – prinsip Dasar
Dalam Penyusunan Tes Hasil Belajar
Selain dari empat ciri atau karakteristik
yang harus dimiliki oleh tes hasil belajar yang baik, ada beberapa prinsip
dasar yang perlu dicermati di dalam menyusun tes hasil belajar agar tes
tersebut dapat mengukur tujuan pembelajaran yang telah diajarkan[3]. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Anas Sudijono yang dapat dipaparkan singkat, yaitu:
1. Pertama, tes hasil belajar harus dapat mengukur secara jelas
hasil belajar (learning outcomes) yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
2. Kedua, butir-butir soal tes hasil belajar harus merupakan
sampel yang representatif dari populasi bahan pelajaran yang telah diajarkan,
sehingga dapat dianggap mewakili seluruh performance yang telah diperoleh.
3. Ketiga, bentuk soal yang dikeluarkan dalam tes hasil belajar
harus dibuat bervariasi, sehingga betul-betul cocok untuk mengukur hasil
belajar yang diinginkan sesuai dengan tujuan tes itu sendiri.
4.
Keempat, tes hasil belajar harus didesain sesuai dengan
kegunaannya untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Pernyataan tersebut
mengandung makna, bahwa desain tes hasil belajar harus disusun relevan dengan
kegunaan yang dimiliki oleh masing-masing jenis tes. Desain dari placement test
- (yaitu tes yang digunakan untuk penentuan penempatan siswa dalam suatu
jenjang atau jenis program pendidikan tertentu). Sudah barang tentu akan
berbeda dengan desain dari formative test - (yaitu tes yang digunakan untuk
mencari umpan balik guna memperbaiki proses pembelajaran, baik bagi guru maupun
bagi siswa) - dan summative test - (yaitu tes yang digunakan untuk mengukur
atau menilai sampai dimana pencapaian siswa terhadap bahan pelajaran yang telah
diajarkan dan selanjutnya untuk menentukan kenaikan tingkat atau kelulusan
siswa yang bersangkutan). Demikian pula desain dari diagnostic test - (yaitu
tes yang digunakan dengan tujuan untuk mencari sebab-sebab kesulitan belajar
siswa.
5.
Kelima, tes hasil belajar harus memiliki reliabelitas yang
dapat diandalkan.
6. Keenam, tes hasil belajar di samping harus dapat dijadikan
alat pengukur keberhasilan belajar siswa, juga harus dapat dijadikan alat untuk
mencari informasi yang berguna untuk perbaikan cara belajar siswa dan cara mengajar
guru itu sendiri.
b. Bentuk bentuk Tes
Hasil Belajar dan Teknik Penyusunannya
Untuk mengukur perkembangan dan kemajuan belajar peserta
didik, apabila ditinjau dari segi bentuk soalnya dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:
1. Tes hasil belajar bentuk
uraian
a)
Pengertian tes uraian
Tes uraian (essay test) juga sering dikenal dengan istilah
tes subyektif (subjective test) adalah
tes ini peserta didik memilki kebebasan memilih dan menentukan jawaban. Kebebasan ini berakibat data jawaban
bervariasi ;sehingga tingkat kebenaran dan kesalahan juga bervariasi, inilah
yang mengandung subyektivitas penilaian. Penilai ikut berperan menentukan.[4]
b)
Penggolongan tes uraian
Tes uraian dapat dibedakan dua golongan, yaitu tes uraian
bentuk bebas atau terbuka, dan tes uraian berbentuk terbatas.
c)
Ketepatan penggunaan tes uraian
Tes hasil belajar bentuk uraian sebagai salah satu alat
pengukur hasil belajar, tepat dipergunakan
apabila pembuat soal (guru, dosen, panitia ujian dan lain-lain) di samping
ingin mengungkap daya ingat dan pemahaman testee terhadap materi pelajaran yang
ditanyakan dalam tes, juga dikehendaki untuk mengungka kemampuan testee dalam
memahami berbagai macam konsep berikut aplikasinya.
d)
Keunggulan yang dimiliki oleh tes uraian diantaranya adalah:
1. Tes uraian adalah merupakan
jenis tes hasil belajar yang pembuatannya dapat dilakukan dengan mudah dan
cepat.
2. Dengan menggunakan tes uraian, dapat dicegah kemungkinan
timbulnya permainan spekulasi dikalangan testee.
3.
Melalui butir-butir soal tes uraian, penyusun soal akan dapat
mengetahui seberapa jauh tingkat kedalaman dan tingkat penguasaan testee dalam
memahami materi yang ditanyakan dalam tes tersebut.
4.
Dengan menggunakan tes uraian, testee akan terdorong dan
terbiasa untuk berani mengemukakan pendapat dengan menggunakan susunan kalimat
dan gaya bahasa yang merupakan hasil olahannya sendiri.
e)
Kelemahan yang disandang oleh tes subyektif antara lain
adalah:
1. Tes uraian pada umumnya kurang dapat menampung atau mencakup
dan mewakili isi dan luasnya materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan
kepada testee, yang seharusnya diujikan dalam tes hasil belajar.
2. Cara mengoreksi jawaban soal tes uraian cukup sulit.
3. Dalam pemberian skor hasil tes uraian, terdapat kecenderungan
bahwa tester lebih banyak bersifat subyektif'.
4. Pekerjaan koreksi terhadap lembar-lembar jawaban hasil tes
uraian sulit untuk diserahkan kepada orang lain.
5.
Daya ketepatan mengukur (validitas) dan daya keajegan
mengukur (reliabilitas) yang dimiliki oleh tes uraian pada umumnya rendah
sehingga kurang dapat diandalkan sebagai alat pengukur hasil belajar yang baik.
f)
Petunjuk operasioanl dalam penyusunan tes uraian
Beberapa petunjuk operasional yang dapat dijadikan pedoman
dalam menyusun butir-butir soal tes uraian, antara lain:
1. Dalam menyusun butir-butir soal tes uraian, sejauh mungkin
harus dapat diusahakan agar butir-butir soal tersebut dapat mencakup ide-ide
pokok dari materi pelajaran yang telah diajarkan, atau telah diperintahkan kepada
testee untuk mempelajarinya.
2. Untuk menghindari timbulnya perbuatan curang oleh testee
(misalnya: menyontek atau bertanya kepada testee lainnya), hendaknya diusahakan
agar susunan kalimat soal dibuat berlainan dengan susunan kalimat yang terdapat
dalam buku pelajaran atau bahan lain yang dirninta untuk mempelajarinya.
3. Sesaat setelah butir-butir soal tes uraian dibuat, hendaknya
segera disusun dan dirumuskan secara tegas, bagaimana atau seperti apakah
seharusnya jawaban yang dikehendaki oleh tester sebagai jawaban yang betul.
4. Dalam menyusun butir-butir soal tes uraian hendaknya
diusahakan agar pertanyaan-pertanyaan atau perintah-perintahnya jangan dibuat
seragam, melainkan dibuat secara bervariasi.
5.
Kalimat soal hendaknya disusun secara ringkas, padat dan
jelas, sehingga cepat dipahami oleh testee dan tidak menimbulkan keraguan atau
kebingungan bagi testee dalam memberikan jawabannya.
6. Suatu hal penting yang tidak
boleh dilupakan oleh tester ialah, agar dalam menyusun
butir-butir soal tes uraian, sebelum sampai pada butir-butir soal yang harus
dijawab atau dikerjakan oleh testee, hendaknya dikemukakan pedoman tentang cara
mengerjakan atau menjawab butir-butir soal tersebut.
2. Tes hasil belajar bentuk obyektif (objective test)
a)
Pengertian tes obyektif
Tes obyektif (objective test) yang juga dikenal dengan
istilah tes jawaban pendek (short answer test), tes "ya-tidak"
(yes-no test) dan tes model baru (new
type test),adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang terdiri dari
butir-butir soal (items) yang dapat dijawab oleh testee dengan jalan memilih
salah satu (atau lebih) di antara beberapa kemungkinan jawaban yang telah
dipasangkan pada masing-masing items; atau dengan jalan menuliskan (mengisikan)
jawabannya berupa kata-kata atau simbol-simbol tertentu pada tempat atau ruang
yang telah disediakan untuk masing-rnasing butir item yang bersangkutan.
b)
Penggolongan tes obyektif
Tes obyektif dapat dibedakan menjadi lima golongan, yaitu:
1.
Tes obyektif bentuk benar-salah (True-False Test).
2.
Tes obyektif bentuk menjodohkan (Matching Test).
3.
Tes obyektif bentuk melengkapi (Completion Test).
4.
Tes obyektif bentuk isian (Fill in Test)
5.
Tes obyektif bentuk pilihan ganda (Multiple Choice Item Test)[5].
c)
Ketepatan penggunaan tes obyektif
Tes hasil belajar bentuk obyektif tepat digunakan apabila
tester berhadapan dengan kenyataan-kenyataan seperti tersebut di bawah ini:
1. Peserta tes jumlahnya cukup banyak. Dengan jumlah testee yang
cukup banyak itu, maka penggunaan tes uraian menjadi kurang efektif dan
efisien, terutama ditinjau dari segi waktu yang dibutuhkan untuk mengoreksi
hasilnya.
2. Penyusun tes (tester) telah
memiliki kemampuan dan bekal pengalaman yang luas dalam menyusun butir-butir
soal tes obyektif.
3. Penyusun tes memiliki waktu yang cukup longgar dalam
mempersiapkan penyusunan butir-butir soal tes obyektif.
4. Penyusun tes merencanakan, bahwa butir-butir soal tes
obyektif itu tidak hanya akan dipergunakan dalam satu kail tes saja, melainkan
akan dipergunakan lagi pada kesempatan tes-tes hasil belajar yang akan datang.
5. Penyusun tes mempunyai keyakinan penuh bahwa dengan
menggunakan butir-butir soal tes obyektif yang disusunnya itu, akan dapat
dilakukan penganalisisan dalam rangka mengetahui kualitas butir-butir itemnya.
6. Penyusun tes berkeyakinan bahwa dengan mengeluarkan butir-butir
soal tes obyektif, maka prinsip obyektivitas akan lebih mungkin untuk
diwujudkan ketimbang menggunakan butir-butir soal tes subyektif.
d)
Keunggulan dan kelemahan tes obyektif
Keunggulan yang dimiliki oleh tes obyektif, antara lain:
1. Tes obyektif sifatnya lebih representatif dalam hal mencakup
dan mewakili materi yang telah diajarkan kepada peserta didik atau
telah diperintahkan kepada peserta didik untuk mempelajarinya.
2. Tes obyektif lebih
memungkinkan bagi tester untuk bertindak lebih obyektif, baik dalam mengoreksi
lembar-lembar jawaban soal, menentukan bobot skor maupun dalam menentukan nilai
hasil tesnya.
3.
Mengoreksi hasil tes obyektif adalah jauh lebih mudah dan
lebih cepat ketimbang mengoreksi hasil tes uraian
4.
Berbeda dengan tes uraian, maka tes obyektif memberikan
kemungkinan kepada orang lain untuk ditugasi atau dimintai bantuan guna
mengoreksi hasil tes tersebut.
5. Butir-butir soal pada tes obyektif, jauh lebih mudah
dianalisis, baik analisis dari segi derajat kesukarannya, daya pembedanya,
validitas maupun reliabilitasnya.
e)
Kelemahan tes obyektif antara lain:
1. Menyusun butir-butir soal tes obyektif adalah tidak semudah
seperti halnya menyusun tes uraian. Bukan hanya karena jumlah butir-butir
soalnya cukup banyak, menyiapkan kemungkinan jawab yang harus dipasangkan pada
setiap butir item pada tes obyektif itu juga bukan merupakan pekerjaan yang
ringan.
2. Tes obyektif pada umumnya kurang dapat mengukur atau
mengungkap proses berpikir yang tinggi atau mendalam.
3. Dengan tes obyektif, terbuka kemungkinan bagi testee untuk
bermain spekulasi, tebak terka, adu untung dalam memberikan jawaban soal.
4.
Cara memberikan jawaban soal pada tes obyektif, di mana
dipergunakan simbol-simbol huruf yang sifatnya seragam.
f)
Petunjuk operasional penyusunan tes obyektif
1.
Untuk dapat menyusun butir-butir soal tes obyektif yang
bermutu tinggi, pembuat soal tes (dalam hal
ini guru, dosen dan lain-lain) harus
membiasakan diri dan sering berlatih, sehingga dari waktu ke waktu ia akan
dapat merancang dan menyusun butir-butir soal tes obyektif dengan lebih baik
dan lebih sempurna.
2. Setiap kali alat pengukur hasil belajar berupa tes obyektif
itu selesai dipergunakan, hendaknya dilakukan penganalisisan item, dengan
tujuan dapat mengidentifikasi butir-butir item mana yang sudah termasuk dalam
kategori "baik" dan butir-butir item mana yang masih termasuk dalam
kategori "kurang baik" dan "tidak baik".
3. Dalam rangka mencegah
timbulnya permainan spekulasi dan kerja sama yang tidak sehat di kalangan
testee, perlu disiapkan terlebih dahulu suatu norma yang memperhitungkan faktor
tebakan.
4.
Agar tes obyektif disamping mengungkap aspek ingatan atau
hafalan juga dapat mengungkap aspek-aspek berpikir yang lebih dalam.
5.
Dalam menyusun kalimat soal-soal tes obyektif, bahasa atau
istilah-istilah yang dipergunakan hendaknya cukup sederhana, ringkas, jelas dan
mudah dipahami oleh testee.
6.
Untuk mencegah terjadinya silang pendapat atau perdebatan
antara testee dengan tester, dalam menyusun butir-butir soal tes obyektif
hendaknya diusahakan sungguh-sungguh agar tidak ada butir-butir yang dapat
menghasilkan penafsiran ganda atau kerancuan dalam pemberian jawabannya.
7.
Cara memenggal atau memutus kalimat, membubuhkan tanda-tanda
baca seperti titik, koma dan sebagainya, penulisan tanda-tanda aljabar seperti
kuadrat, akar dan sebagainya, hendaknya ditulis secara benar, usahakan agar
tidak terjadi kesalahan ketik atau kesalahan cetak, sehingga tidak mengganggu
konsentrasi testee dalam memberikan jawaban soal.
8.
Dengan cara bagaimanakah testee seharusnya memberikan jawaban
terhadap butir-butir soal yang diajukan dalam tes, hendaknya diberikan pedoman
atau petunjuknya secara jelas dan tegas.
Dalam praktek, pelaksanaan tes hasil belajar dapat diselenggarakan
secara tertulis (tes tertulis), dengan secara lisan (tes lisan) dan dengan tes
perbuatan.
Pada tes tertulis, soal-soal tes dituangkan dalam bentuk tertulis dan jawaban tes juga tertulis. Pada tes lisan, soal-soal tes diajukan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Namun demikian dapat juga soal-soal tes diajukan secara lisan dan dalam waktu yang ditentukan, jawaban harus dibuat secara tertulis. Adapun pada tes perbuatan, wujud soal tesnya adalah pemberian perintah atau tugas yang harus dilaksanakan oleh testee, dan cara penilaiannya dilakukan terhadap proses penyelesaian tugas dan hasil akhir yang dicapai setelah testee melaksanakan tugas tersebut.
Pada tes tertulis, soal-soal tes dituangkan dalam bentuk tertulis dan jawaban tes juga tertulis. Pada tes lisan, soal-soal tes diajukan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Namun demikian dapat juga soal-soal tes diajukan secara lisan dan dalam waktu yang ditentukan, jawaban harus dibuat secara tertulis. Adapun pada tes perbuatan, wujud soal tesnya adalah pemberian perintah atau tugas yang harus dilaksanakan oleh testee, dan cara penilaiannya dilakukan terhadap proses penyelesaian tugas dan hasil akhir yang dicapai setelah testee melaksanakan tugas tersebut.
1.
Teknik Pelaksanaan Tes
Tertulis
Dalam melaksanakan tes tertulis ada beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian yaitu sebagaimana dikemukakan berikut ini:
a)
Agar dalam mengerjakan soal tes para peserta tes mendapat
ketenangan, seyogyanya ruang tempat berlangsungnya tes dipilihkan yang jauh
dari keramaian, kebisingan, suara hiruk-pikuk dan lalu lalangnya orang. Adalah
sangatbijaksana apabila di luar ruangan tes dipasang papan pernberitahuan.
b)
Ruangan tes harus
cukup longgar, tidak berdesak-desakan, tempat duduk diatur dengan jarak
tertentu yang memungkinkan tercegahnya kerja sama yang tidak sehat di antara
testee.
c) Ruangan tes sebaiknya
memiliki sistem pencahayaan dan pertukaran udara yang baik.
d)
Jika dalam ruangan tes tidak tersedia meja tulis atau kursi
yang memiliki alas tempat penulis,maka sebelum tes dilaksanakan hendaknya sudah
disiapkan alat berupa alas tulis yang terbuat dari triplex, hardboard atau
buhur, lainnya.
e) Agar testee dapat memulai
mengerjakan soal tes secara bersamaan, hendaknya lembar soal-soal tes
diletakkan secara terbalik, sehingga tidak memungkinkan bagi testee untuk
membaca dan mengerjakan soal lebih awal daripada teman-temannya.
f)
Dalam mengawasi jalannya tes, pengawas hendaknya berlaku
wajar. Artinya jangan terlalu banyak bergerak, terlalu sering berjalan-jalan
dalam ruangan tes sehingga mengganggu kottsentrasi testee. Sebaliknya, pengawas
tes juga jangan selalu duduk di kursi sehingga dapat membuka peluang bagi
testee yang tidak jujur untuk bertindak curang.
g) Sebelum berlangsungnya tes,
hendaknya sudah ditentukan lebih dahulu sanksi yang dapat dikenakan kepada
testee yang berbuat curang.
h) Sebagai bukti mengikuti tes,
harus disiapkan daftar hadir yang harus ditandatangani oleh seluruh peserta
tes.
i)
Jika waktu yang ditentukan telah habis, hendaknya testee
diminta untuk menghentikan pekerjaannya dan secepatnya meninggalkan ruangan
tes.
j)
Untuk mencegah timbulnya berbagai kesulitan dikemudian hari,
pada Berita Acara Pelaksanaan Tes harus dituliskan secara lengkap, berapa orang
testee yang hadir dan siapa yang tidak hadir, dengan menuliskan identitasnya
(nomor urut, nomor induk, nomor ujian, nama dan sebagainya), dan apabila
terjadi penyimpangan-penyimpangan atau kelainan-kelainan harus dicatat dalam
berita acara pelaksanaan tes tersebut.
2. Teknik Pelaksanaan Tes Lisan
Tes lisan adalah tes yang menuntut jawaban dri peserta
didik dalam bentuk lisan . peserta didik akan mengucapkan jwaban dengan kata –
katanya sendiri sesuai dengan pertanyaan atau perintah yang diberikan . [6]
Beberapa petunjuk praktis berikut ini kiranya akan dapat
dipergunakan sebagai Pegangan dalam pelaksanaan tes lisan, yaitu:
a.
Sebelum tes lisan dilaksanakan, seyogyanya tester sudah
melakukan inventarisasi berbagai jenis soal yang akan diajukan kepada testee
dalam tes lisan tersebut, sehingga tes lisan dapat diharapkan memiliki
validitas yang tinggi, baik dari segi isi maupun konstruksinya.
b.
Setiap butir soal yang telah ditetapkan untuk diajukan dalam
tes lisan itu, juga harus disiapkan sekaligus pedoman atau ancar-ancar jawaban
betulnya.
c. Jangan sekali-kali
menentukan skor atau nilai hasil tes lisan setelah seluruh testee menjalani tes
lisan. Skor atau nilai hasil tes lisan harus sudah dapat ditentukan di saat
masing-masing testee selesai dites.
d.
Tes hasil belajar yang dilaksanakan secara lisan hendaknya
jangan sampai menyimpang atau berubah arah dari evaluasi menjadi diskusi.
e.
Dalam rangka menegakkan prinsip obyektivitas dan prinsip
keadilan, dalam tes yang dilaksanakan secara lisan itu, tester hendaknya jangan
sekali-kali "memberikan angin segar" atau
"memancing-mancing" dengan kata-kata, kalimat-kalimat atau kode-kode
tertentu yang sifatnya menolong testee tertentu alasan "kasihan" atau
karena tester menaruh "rasa simpati" kepada testee yang ada
dihadapinya itu. Menguji, pada hakikatnya adalah "mengukur" dan bukan
"membimbing" testee.
f. Tes lisan harus berlangsung
secara wajar. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa tes lisan itu jangan
sampai menimbulkan rasa takut, gugup atau panik di kalangan testee.
g.
Sekalipun acapkali sulit untuk dapat diwujudkan, namun
sebaiknya tester mempunyai pedoman atau ancar-ancar yang pasti, berapa lama
atau berapa waktu yang disediakan bagi tiap peserta tes dalam menjawab
soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan pada tes lisan tersebut.
h.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tes lisan hendaknya
dibuat bervariasi, dalam arti bahwa sekalipun inti persoalan yang ditanyakan
itu sama, namun cara pengajuan pertanyaannya dibuat berlainan atau beragam.
i.
Sejauh mungkin dapat diusahakan agar tes lisan itu
berlangsung secara individual (satu demi
satu).
3. Teknik Pelaksanaan Tes Perbuatan
Tes perbuatan pada umumnya digunakan untuk mengukur taraf
kompetensi yang bersifat keterampilan (psikomotorik), dimana penilaiannya
dilakukan terhadap proses penyelesaian tugas dan hasil akhir yang dicapai oleh
testee setelah melaksanakan tugas tersebut.Karena tes inibertujuan ingin
mengukur keterampilan, maka sebaiknya tes perbuatan ini dilaksanakan secara
individual. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing individu yang dites akan
dapat diamati dan dinilai secara pasti, sejauh mana kemampuan atau keterampilannya
dalam melaksanakan tugas yang diperintahkan kepada masing-masing individu
tersebut.
Dalam melaksanakan tes perbuatan itu, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan oleh tester, yaitu:
a)
Tester harus mengamati dengan secara teliti, cara yang
ditempuh oleh testee dalam menyelesaikan tugas yang telah ditentukan.
b)
Agar dapat dicapai kadar obyektivitas setinggi mungkin,
hendaknya tester jangan berbicara atau berbuat sesuatu yang dapat mempengaruhi
testee yang sedang mengerjakan tugas tersebut.
c)
Dalam mengamati testee yang sedang melaksanakan tugas itu,
hendaknya tester telah menyiapkan instrumen berupa lembar penilaian yang di
dalamnya telah ditentukan hal-hal apa sajakah yang harus diamati dan diberikan
penilaian. [7]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Ciri-ciri tes hasil belajar
yang baik yaitu:
a)
Valid atau validitas yang sering diartikan dengan ketetapan,
kebenaran, keshahihan atau keabsahan.
b)
Reliabel yang sering diterjemahkan dengan keajegan
(stability) atau kemantapan (consystence)..
c)
Obyektif yang dapat diartikan dengan “menurut apa adanya”.
d)
Praktis yang mengandung pengertian bahwa tes hasil belajar
tersebut dapat dilakukan dengan mudah
2.
Teknik penyusunan tes hasil belajar ditinjau dari bentuk soal
dapat dibeadakan dua macam, yaitu: tes hasil belajar bentuk uraian dan bentuk
obyektif,
3.
Teknik pelaksanaan tes hasil belajar dapat diselenggarakan
secara tertulis (tes tertulis), secara lisan (tes lisan), dan secara perbuatan
(tes perbuatan).
Penulis menyadari tulisan ini jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis menyarankan kepada pembaca untuk pemahaman yang lebih dalam
dapat membaca tentang hal tersebut lebih banyak lagi dari sumber-sumber yang
lain. Dan penulis mengharapkan masukkan yang konstruktif kepada kita semua,
demi penyempurnaan tulisan ini.
Arifin
Zainal, Evaluasi Pembelajaran prinsip,
teknik, prosedur, Bandung: Remaja Rosdakarya,2013.
Mudjijo,Tes Hasil Belajar, Jakarta: Bumi Aksara,
1995.
Purwanto M. Ngalim, Prinsip-prinsip dan Tekhnik Evaluasi
Pengajaran, Bandung: PT
Remaja Rosdakerya,2009.
Sudaryono,
Dasar- Dasar Evaluasi Pembelajaran, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012.
Sudjiono,
Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Toha
chabib, Teknik Evaluasi Pendidikan,
Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1996.
[1] Sudjiono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2007). h.56.
[2] Mudjijo,Tes Hasil Belajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal.40.
[3] Purwanto M. Ngalim, Prinsip-prinsip
dan Tekhnik Evaluasi Pengajaran., (Bandung: PT Remaja Rosdakerya,2009),
h.85.
[5] Sudaryono, Dasar- Dasar Evaluasi Pembelajaran, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012)
hal.101-119.
[6] Arifin Zainal, Evaluasi Pembelajaran prinsip, teknik,
prosedur, (Bandung,: Remaja
Rosdakarya,2013), h.148.
[7]
Ibid, hal149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar