Senin, 22 Juni 2015

KESADARAN DAN KEMANDIRIAN SISWA ALIYAH
Makalah ini di susun untuk memenuhi mata kuliah Manajemen Bimbingan dan Konseling
Dosen pengampu :
Dr. H. Salman Tumanggor, M.pd
 

          Disusun Oleh :
Neni Triana          (11140182000021)




MANAJEMEN PENDIDIKAN
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015



KESADARAN DAN KEMANDIRIAN

A.    Landasan Teori 
     Pengertian Kemandirian Kemandirian merupakan isu psikososial yang muncul secara terus menerus dalam seluruh siklus kehidupan individu (Steinberg, 2002). Isu ini muncul di setiap situasi yang menuntut individu untuk mengandalkan dan bergantung kepada dirinya sendiri, seperti di saat baru memasuki perguruan tinggi di luar kota, diterima bekerja di suatu perusahaan, memiliki pasangan, ataupun sedang memiliki masalah dengan teman. Kemandirian yang dimiliki individu akan membantunya siap menghadapi setiap situasi dan persoalan yang ada. Kemandirian merupakan kemampuan untuk melakukan dan mempertanggungjawabkan tindakan yang dilakukannya serta untuk menjalin hubungan yang suportif dengan orang lain (Steinberg, 2002). Menurut Shaffer (2002), kemandirian sebagai kemampuan untuk membuat keputusan dan menjadikan dirinya sumber kekuatan emosi diri sehingga tidak bergantung kepada orang lain. Beberapa ahli menyatakan bahwa untuk mencapai kemandirian berarti membebaskan diri dari ikatan orang tua agar dapat mengembangkan identitas dirinya. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk bertindak berdasarkan pertimbangan sendiri dan untuk bertanggung jawab atas tindakan tersebut , kemampuan untuk membuat keputusan dan mengatur hidupnya sendiri tanpa ketergantungan berlebihan dengan orang tua, serta kemampuan untuk tetap menjaga hubungan yang suportif dengan orang lain

B.     Hakekat Kemandirian
     Istilah “kemandiran”  berasal dari kata dasar “diri” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an”. Menurut Chaplin (2002), dalam Desmita 2011. Otonomi adalah kebebasan individu manusia untuk memilih, dalam menentukan dirinya sendiri. Sedangkan Seifert dan Hoffnung (1994) mendefinisikan otonomi atau kemandirian sebagai “ the ability to govern and regulate one`s onw thoughts, feelings, and actions freely and responsibly while overcoming feelings of shame and doubt”. (Desmita, 2011: 185)[1]. Erikso (dalam Monks, dkk,1989), dalam Desmita, 2011. Mengatakan kemandirian adalah usaha untuk belajar hidup tanpa orang tua, bertangung jawab, mampu mengatasi masalah tanpa bantuan orang lain. Peserta didik diharapkan lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung pengertian, suatu kondisi di mana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri, mampu mengambil keputusan dan inisatif  untuk mengatasi masalah yang dihadapi, memiliki kepercayaan diri dan melaksanakan tugas-tugasnya dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukanya. (Desmita, 2011:185-186).


C.    Bentuk-bentuk Kemandirian
         Robert Havighurst (1972) dalam Dasmita, membedakan kemandirian atas empat bentuk kemandirian, yaitu.
1. Kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantung pada orang lain
2.  Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantung kebutuhan ekonomi orang lain,
3.      Kemandiria intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, dan
4.      Kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada orang lain. (Desmita, 2011: 186).

D.    Karakteristik Kemandirian
      Steiberg (1993) dalam Desmita, membedakan karakteristik kemandirian atas tiga aspek,yaitu.
1.  Kemandirian emosional, yaitu aspek kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan emosional peserta didik dengan guru atau dengan orang tuanya,
2.   Kemandirian tingkah laku, yaitu suatu kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tanpa tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya secara bertanggung jawab, dan
3.      Kemandirian nilai, yaitu kemampuan memaknai sesuatu prinsip tentang benar dan salah. (Desmita, 2011: 186)[2].
       
   Sebagai suatu dimensi psikologis yang kompliks, perkembangan kemandirian seseorang berlangsung secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan kemandirian tersebut. Lovinger (dalam Sunaryo Kartadinata, 1988), dalam Desmita, 2011. Mengemukakan tingkatan kemandirian dan karakteristik, yaitu :
1.      Tingkat impulsive dan melindungi diri.
Ciri-cirinya. Peduli terhadap control dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya dengan orang lain, Mengikuti aturan secara spontanistik dan hedonistik, Berpikir tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu, cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum games, cenderung menyalahkan dan mencela orang lain.
2.      Tingkat konformistik.
Ciri-cirinya. Peduli terhadap penampilan diri dan penerimanan social, cenderung berpikir stereotype dan klise. Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal, bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian, menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya introspeksi, perbedaan kelompok didasarkan atas cirri-ciri eksternal, takut tidak diterima kelompok, tidak sensitif terhadap keindividualan, dan merasa berdosa jika melanggar aturan.
3.      Tingkat sadar diri,
Ciri-cirinya. a) mampu berpikir alternatif, b) melihat harapan dan berbagai kemungkinana dalam situasi, c) peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada d) menekankan pada pentingnya memecahkan masalah, e) memikirkan cara hidup, f) penyesuaian terhadap situasi dan peranan.
4.      Tingkat saksama (conscientious),
Ciri-cirinya: a) bertindak atas dasar nilai-nilai internal, b) mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan, c) Mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri sendiri maupun orang lain, d) sadar akan tanggung jawab, e) mampu melakukan kritik dan penilaian diri, f) peduli akan hubungan mutualistik, g) memiliki tujuan jangka panjang, h) berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analistis.
5.      Tingkat individualitas.
 Ciri-cirinya. a)peningkatan kesadaran individualitas, b) kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dan ketergantungan, c) menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain, d) Mengenal eksistensi perbedaan individual, e) mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan, f) membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya, g) mengenal kompleksitas diri, h) peduli akan perkembangan dan masalah-masalah.
6.      Tingkat mandiri.
Ciri-cirinya, a) memiliki pandangan hidup, b) bersikap realitas dan objektif terhadap diri sendiri dan orang lain, c) peduli pemahaman abstrak, seperti keadilan social, c) mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertenyangan, d) toleran terhadap ambiguistik, e) peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment), f) ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal, g) pesponssif terhadap kemandirian orang lain, h) sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain, i) mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan. (Desmita, 2011: 186-189).[3]

E.     Ciri-Ciri Kemandirian
       Berdasarkan pengertian kemandirian tersebut, maka ciri-ciri kemandirian belajar dapat dikenali. Dalam bukunya, Chabib Thoha mengutip pendapatnya Brawer bahwa ciri-ciri perilaku mandiri adalah :[4]
a.       Seseorang mampu mengembangkan sikap kritis terhadap kekuasaan yang datang dari luar dirinya. Artinya mereka tidak segera menerima begitu saja pengaruh orang lain tanpa dipikirkan terlebih dahulu segala kemungkinan yang akan timbul.
b.      Adanya kemampuan untuk membuat keputusan secara bebas tanpa dipengaruhi oleh orang lain.
          Sedangkan Spancer dan Koss, merumuskan ciri-ciri perilaku mandiri sebagai berikut :
a.       Mampu mengambil inisiatif.
b.      Mampu mengatasi masalah.
c.       Penuh ketekunan.
d.      Memperoleh kepuasan dari hasil usahanya.
e.       Berkeinginan mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orng lain.
      
 Apabila berdasarkan pendapat tersebut dicermati secara mendalam akan nampak rumusan-rumusan tentang ciri-ciri kemandirian sebagai berikut :
a.       Mampu berpikir secara kritis, kreatif dan inovatif.
b.      Tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
c.       Tidak lari atau menghindari masalah.
d.      Memecahkan masalah dengan berpikir yang mendalam.
e.       Apabila menjumpai masalah dipecahkan sendiri tanpa meminta bantuan orang lain.
f.       Tidak merasa rendah diri apabila harus berbeda dengan orang lain.
g.      Berusaha bekerja dengan penuh ketekunan dan kedisiplinan.
h.      Bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.

F.     Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian
    Kemandirian sebagaimana pada umumnya banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Muhibbin Syah, menggolongkan
faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar siswa secara global yaitu :[5]
1.   Faktor internal (faktor dari dalam siswa) yakni keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa.
2.      Faktor eksternal (Faktor dari luar siswa) yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa.
3.    Faktor pendekatan belajar (approach to learning) yakni jenis upaya belajar siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
     Sedangkan menurut Sumadi Suryabrata faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar di bagi menjadi dua yaitu faktor eksternal dan faktor internal.[6]
1.      Faktor Eksternal
Faktor yang berasal dari luar diri pelajar. Faktor ini dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu :
a.       Faktor-faktor non sosial
Yang termasuk faktor ini sangat banyak jumlahnya yakni meliputi faktor-faktor yang berasal dari luar selain manusia, misalnya : keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu (pagi/siang/ malam), tempat (letak, gedung), alat-alat yang dipakai untuk belajar (alat tulis, buku-buku, alat peraga).

b.      Faktor-faktor sosial
Yang dimaksud faktor-faktor sosial disini adalah faktor manusia (sesama manusia) baik manusia itu hadir (ada) maupun kehadirannya itu dapat disimpulkan, jadi tidak langsung hadir. Kehadiran orang lain pada waktu seseorang sedang belajar, banyak sekali mengganggu belajar. Misalnya kalau satu kelas muridnya sedang mengerjakan ujian, lalu terdengar banyak anak-anak lain bercakap-cakap di samping kelas, atau seseorang sedang belajar di kamar, satu atau dua orang hilir mudik keluar masuk kamar belajar itu, dan sebagainya.

2.      Faktor Internal
Yaitu faktor yang berasal dari dalam diri pelajar. Faktor ini di golongkan menjadi dua, yaitu :
a.       Faktor Fisiologis
Keadaan tonus jasmani pada umumnya. Keadaan tonus akan dapat mempengaruhi kegiatan belajar, seperti kekerungan gizi dapat menyebabkan seseorang itu kurang bersemangat dalam belajar.Keadaan fungsi jasmani tertentu, yang dimaksud di sini adalah kurang berfungsinya indra seseorang yang indranya atau salah satunya akan berpengaruh dalam kegiatan belajar.

b.      Faktor psikologis
Yang dimaksud faktor ini diantaranya adalah motif, sikap, perhatian, bakat, tanggapan, pengamatan, minat dan intelegensi. Selain itu menurut N. Frandien sebagaimana yang dikutip oleh Sumadi Suryabrata sebagai berikut :
a.       Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas.
b.     Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju.
c.       Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman.
d.   Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan kooperasi maupun dengan kompetisi.
e. Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran.
f.       Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari belajar.

G.    Implementasi Kemandirian Belajar Siswa Dalam Berprestasi
    Anak yang memiliki kemandirian yang kuat tidak akan mudah menyerah. Sikap kemandirian dapat ditunjukkan dengan adanya kemampuan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tingkah laku. Dengan adanya perubahan tingkah laku maka anak juga memiliki peningkatan dalam berfikir, menganggap bahwa dalam belajar harus bisa mandiri tanpa mengandalkan bantuan dari orang lain terus dan juga tidak menggantungkan belajar dari guru saja, tapi belajar juga bisa dari media cetak, elektronik, alam, atau yang lainnya.
   Kepribadian seorang anak yang memiliki ciri kemandirian berpengaruh positif terhadap prestasi belajarnya. Hal ini bisa terjadi karena anak mulai dengan kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri secara sadar, teratur dan disiplin berusaha dengan sungguh‑sungguh untuk mengejar prestasi belajar, mereka tidak  merasa rendah diri dan siap mengatasi masalah yang muncul. Seseorang memiliki minat yang tinggi untuk mempelajari suatu mata pelajaran maka, ia akan mempelajarinya dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai prestasi belajarnya. Seseorang itu boleh dikatakan memiliki motivasi untuk belajar. Motivasi itu muncul karena ia merasa membutuhkan sesuatu dari apa yang dipelajarinya. Aktivitas belajar bukanlah suatu kegiatan yang dilakukan tanpa terlepas dari faktor lain. Aktivitas belajar merupakan kegiatan yang melibatkan unsur jiwa dan raga.
     Belajar tidak akan pernah dilakukan tanpa suatu dorongan yang kuat dari dalam, yang lebih utama semisal kemandirian maupun dari luar yang tak kalah pentingnya.Pada proses pelaksanaannya dititik beratkan pada pembiasaan siswa agar nantinya dapat mandiri dalam berbagai hal yang menyangkut kebiasaan manusia sekaligus hubungan kepada Allah SWT, dalam arti melaksanakan ajaran-ajaran Islam baik berupa perintah maupun berupa larangan. Secara formal waktu belajar adalah mulai dari jam 07.00 sampai jam 13.00 WIB. Selama proses pembelajaran biasanya guru menggunakan beberapa metode diantaranya, berupa ceramah, demontrasi, tanya jawab, atau cerita-cerita hikmah yang mencoba mengajak siswa untuk berbuat baik (persuasif) dengan pendekatan emosional, rasional dan fungsional. Dalam kenyatannya proses pembelajaran diharapkan mampu mendapatkan prestasi belajar yang baik, namun ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, semisal tingkat kemandirian siswa itu sendiri dalam belajar. Anak yang memiliki kemandirian yang kuat tidak akan mudah menyerah. Sikap kemandirian dapat ditunjukkan dengan adanya kemampuan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tingkah laku. Dengan adanya perubahan tingkah laku maka anak juga memiliki peningkatan dalam berfikir, menganggap bahwa dalam belajar harus bisa mandiri tanpa mengandalkan bantuan dari orang lain terus dan juga tidak menggantungkan belajar dari guru saja, tapi belajar juga bisa dari media cetak, elektronik, alam, atau yang lainnya. Kepribadian seorang anak yang memiliki ciri kemandirian berpengaruh positif terhadap prestasi belajarnya. Hal ini bisa terjadi karena anak mulai dengan kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri secara sadar, teratur dan disiplin berusaha dengan sungguh‑sungguh untuk mengejar prestasi belajar, mereka tidak  merasa rendah diri dan siap mengatasi masalah yang muncul.Kemandirian belajar yang dimilki setiap anak didik diharapkan bisa meningkatkan hasil belajar serta menambah semangat mereka dalam mempelajari ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama.
          Peran guru BK dalam mengembangkan kemandirian siswa menurut Sardiman (2001: 142) menyatakan bahwa ada Sembilan peranan guru dalam kegiatan bimbingan konseling, yaitu:
1.  Informator, Guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum.
2.    Organisator, Guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain.
3.  Motivator, Guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar mengajar.
4.      Director, Guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
5.      Inisiator, Guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar mengajar.
6.      Tranmitter, Guru sebagai penyebar kebijakan dalam pendidikan dan pengetahuan.
7.      Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam prosesbelajar mengajar.
8.      Mediator, Guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.
9.      Evaluator, Guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupu tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil.[7]












DAFTAR PUSTAKA
Desmita. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Rosdakarya.2011.
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya.1995.
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
Sutirna, Bimbingan dan Konseling,Yogyakarta: CV. Andi Offset,2013.






[1] Desmita. 2011. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Rosdakarya.hal 185

[2] Ibid hal 186
[3] Ibid hal 186-189
[4] M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 121.
[5] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya,   Bandung,       1995, hlm. 132.
[6]  Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,   2004, hlm. 233-237.

[7] Sutirna, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: CV. Andi Offset,2013),hal 77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar